Kepada Seorang Lelaki yang Mengajariku Menggoreskan Tinta :')

waktu aku baca novel "Kepada Cinta" aku nemu satu surat yang isinya keren abis, tapi bikin freak adalah , kenapa yang ngirim cowok, padahal suratnya di kirim ke cowok -____- tapi kalian baca aja deh, tapi maaf kalau panjang :p

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Untuk Rama,

Ini kali pertama aku berani mengatakan apa yang sekian lama yang kurahasiakan darimu, Rama. Hanya dua kata mampu menjelaskannya. Aku mencintaimu. Apakah itu cukup untuk membuatmu mengerti? Pikirmu, aku pasti menganggap itu terlalu sederhana sehingga membuatku mudah mengucapkannya, Kan?

Sebenarnya, aku sendiri masih belum bisa memahaminya, Rama. Aku mencintaimu. Hanya itu. Aku tak punya kata lain. Hanya karena itu Tuhan bilang aku berdosa? Kenapa? Aku selalu bertanya. Tapi Tuhan tak pernah menjawab. dia tak ada di mana pun.

Jika besok ketemui Tuhan, aku pasti akan menanyakan, "apa salahku mencintai Rama?"

Bukankah setiap orang berhak mencintai?

Bagiku, Kau selembut api lilin-lilin kecil yang bergoyang sendu di sepanjang lorong tempatku berjalan setiap malam, Rama. Secantik noktah emas kunang-kunang yang berlarian di antara pucuk-pucuk ilalang di sawah belakang rumahku. Seperti bunga-bunga kenikir yang mengangguk bersahaja kepada matahari dan capung-capung yang mencumbunya tanpa kata. Seperti silir udara yang menghantar buih ombak kedalam pelukan pasir putih--hanya untuk menyampaikan pesan yang begitu tergesa--lalu membawanya kembali ke ke tengah lautan dengan penuh kesetiaan. Seperti bisik mesra seekor kupu-kupu kepada kekasihnya yang tak mampu ditangkap angin. Dan, kau juga, seperti tirai-tirai hujan yang menari lentik dalam pacuan detak jantungku saat aku melangkah lirih di atas rerumputan pada suatu malam yang hening penuh rintih kesakitan; bahkan aku masih ingat, tatapanmu sering kupakai untuk menghapus air mata.

Maaf.

Aku tidak pernah bisa berkata lebih dari itu. Aku lebih sering menulis apa saja yang mestinya dapat kau mengerti di dasar kolam yang pendar airnya sama sekali tak mampu kau pahami. Ibuku bilang, hidup bagai secarik kertas usang yang penuh tulisan mimpi yang akan pergi begitu saja diterbangkan angin dan hilang dalam sekejap, terhapus jejak-jejak langkah hujan.

Semula, aku tak ingin memercayai itu. Tidak pernah ingin. Sebab, suatu kali dulu, tanpa kau sadari, kau ajari aku bagamainan menggores tinta dengan bijaksana di atas secarik kertas usang itu agar dia bisa hidup abadi. Meluluhkan perasaan angin dan hujan, lalu berubah menjadi burung-burung kecil bersayap putih yang telah bersiap terbang mengejar matahari. Kau ajari aku cara meneteskan air mata dengan amat perlahan sehingga hanya malaikat di kedua bahukun yang mampu mendengarnya (tanpa pernah memberitahukannya kepada Tuhan, kukira). Lalu, kau ajak kedua kelopak bibirku bergerak, mengucapkan kata-kata yang akhir-akhir ini sangat kubenci : doa.

Kau katakan padaku; pejamkan matamu, tidurlah dengan lelap di bahuku. Kau katakan lagi; ini ujung kemejaku, pakailah untuk mengusap air mata di pelupuk matamu ini. Dan, kau katakan lebih perlahan lagi; mintalah apa saja yang sanggup aku berikan, tapi kumohon, jangan pernah menangis lagi.

Kau bimbing aku seperti seorang bapak yang dengan sabar mengajari anaknya menaikkan layang-layang, tinggi berlari menyapa bintang-bintang. Ya. Kau seperti seorang bapak. Bapakku. Bapak yang telah lama meninggalkanku jauh sebelum kukosongkan rahim ibuku. Bapak yang tidak pernah ku kenal, tak pernah kuingat sorot matanya. Benar. Kurasa, kau memang sepeti bapakku. Tapi hanya jenis kelaminmu. Yang lain berbeda. Bagaimana mungkin sepenuhnya kusamakan kau dengan setan?

Tak mungkin aku lupa tentangmu, Rama.

Kau lindungi aku seolah-olah aku kura-kura kecil yang tersesat; kau bantu aku berjalan kembali menuju lautan untuk menemukan keluargaku. Kau tampak samar dan berkabut di mata, tetapi begitu jelas, begitu nyata dalam mimpiku.

Jadi, apa salahku mencintaimu?

Kau tau, doa yang kulafalkan kini tidak lagi seperti yang kau bisikan. Harapan yang kuceritakan tidak pernah lagi ku sampaikan pada Tuhan. Aku membenci-nya. Aku takut Dia mengkhianatiku lebih dari yang pernah Dia lakukan kepadaku; dengan mengirimiku hujan setiap hari dan mempertemukanku dengan mu. Aku sudah tidak lagi percaya pada-nya. Kau tahu, kan, Dia selalu mengatur hidupku. Mungkin, aku sudah gila.

Petemuan denganmu begitu manis sekaligus pahit. Kau menyelam kedalam hatiku seperti matahari terbit. Seperti bunga-bunga yang semula kuncup, lalu mulai bermekaran pada sebuah pergantian musim. Saat bersamamu, aku mampu merasakan kebahagian yang sempurna sekaligus kepahitan yang dalam; ketemukan kegelisahan yang panjang sekaligus kenikmatan yang naluriah; keheningan yang begitu damai sekaligus kenangan yang amat pahit.

Maaf.

Setelah mengetahui ini, mungkin kau akan pergi dariku atau aku tak mungkin lagi berada disampingmu. Kau akan membiarkanku berjalan sendiri lagi, kan? Apa Tuhan tidak punya hati? Bukankah keinginanku begitu sederhana? Aku hanya ingin kau miliki. Terlalu hinakah harapan itu?

Aku sudah tahu jawabannya. Ya. Aku sudah tahu. Sudah lama sekali aku tahu.

Aku selalu sendiri kini; di lorong sepi tempat kita dulu pernah saling melukis mimpi, menyulam bait-bait puisi, meneriakkan kesakitan dan bertanya-tanya kepada Tuhan. Tempat kali pertama kita bertemu, kau ingat?

Maaf.

Kalau aku pergi hari ini, bukan berarti aku marah padamu. Justru karena kau terlalu menyanyangi mu. Mungkin, kau bertanya-tanya tentangku, mungkin juga tidak. Tapi aku tetap harus mengatakannya kan? Di sini, di dalam sini, jauh didalam dasar hatiku, ada banyak sekali rahasia yang ingin kubagi denganmu. Tapi entahlah, aku tak punya satu pun kata yang dapat kugunakan untuk mulai mengatakannya.

Kau tahu, malam ini, disini, tempat pertama kali kita bertemu; dengan segelas bir dan sebatang rokok mengepul seperti cerobong asap kereta api, aku mulai menulis puisi tentangmu. Tentang senyummu yang terus saja membelai waktu dalam pikiranku. Tentang pelukanmu yang begtiu hening, begitu hangat melemahkan rasa sakitku. Tentang jari-jarimu yang halus, yang selembut kabut, yang sering kugunakan menggenggam udara untuk kuhirup. Tentang bahumu yang kokoh, lenganmu yang memberiku rasa aman, juga bongkah dadamu yang kuat, yang wangi tembakau. Oh, semua ini membuatku cengeng dan marah.

Aku seperti bisa merasakanmu berdiri dengan senyummu yang bisa--yang sepolos bayi--jauh di depan sana. Kau awasi aku dengan pandang sayangmu. Lalu, kau tanya, "Kau sedang tidak menangiskan?"

Dan ketika aku mendongak keluar, memandang segaris bulan sabit yang tampak samar dilangit, kau tahu, tiba-tiba, baru keusadari kalau telah lama tatapanku berkabut. Setiap sudut lorong tempat kali pertama kita bertemu seolah-olah tampak muram. Malam menjadi lebih gelap, menjadi lebih dingin daripada sebelumnya. Aku terus terpaku. Tak dapat kuselesaikan puisi tentangmu dengan kata-kata yang cantik, yang kuharap mampu meluluhkan Tuhan. Betapa aku ingin kau miliki, kau cumbu, kau dekap mesra. Kau lindungi seperti perempuan yang impikan.

Tapi, aku tahu, kau tak akan pernah bisa mengerti ini. Dan aku juga tak ingin kau memahaminya. Ini membuat kita sulit bernapas.

Kau tahu, ternyata, aku terlalu takut untuk melihat senyummu, menatap ujung sepatumu, mendengar kata-katamu. Karena itu, aku harus pergi. Aku tak bisa terus ada di sisimu dengan harapan yang tak mungkin dikabulkan Tuhan. Jika kau melihatku hari ini, kau pasti akan berkomentar dengan kata yang sering kau lontarkan, "Pecundang". Kau sering mengatakannya kan? Sekarang, aku ingin kau mengatakannya sekali lagi. Sekali saja. Sebelum aku benar-benar pergi. Nyatanya, aku masih saja menyusuri tempat kali pertama kita bertemu, menulis puisi-puisi tentangmu. mengkhayalkan lelap dalam lingkaran lenganmu.

Masihkan cinta dapat dipercaya seperti Tuhan? Nyatanya, aku hanya punya itu. Cinta. Satu kata yang kupakai untuk melukiskan betapa aku ingin kau miliki. Betapa aku ingin kau lindungi. Bertapa aku ingin menjadi perempuanmu. Menjadi satu-satunya perempuanmu. Yang memberimu seluruh hidupnya, yang akan setia mengangkat payung untukmu ketika hujan menyapa, yang hanya akan memiliki dirimu, yang akan terus menulis puisi-puisi tentangmu, yang akan melahirkan malaikat-malaikat kecil untukmu, untuk menghapus kesepianmu. Hanya itu sesungguhnya yang ingin kusampaikan padamu, yang ingin kusampaikan kepada Tuhan. Hanya demikian.

Tapi, karena Tuhan bukan manusia, Dia tidak akan pernah merasakan kesakitanku, merasakan harapan-harapanku untuk menjadi perempuanmu. Dia hanya bisa membisik ketelingaku bahwa mencintaimu itu dosa. Dan, mengapa itu dosa, Dia tak pernah memberi alasannya.

Jadi, jika besok ku temukan Tuhan, Rama, aku pasti akan menanyakan; apa salahku mencintaimu? Kenapa aku tak boleh mencintaimu? Bukankah kau dan aku bisa menjadi sepasang manusia tanpa harus meninggalkan-Nya? Mengapa cinta tiba-tiba bisa menjadi dosa? Toh, aku tidak melakukan apa pun yang menghina-Nya ...

Kau takkan bisa memberikanku jawaban, demikian juga Tuhan, bukan?

Dan, karena pertanyaan itu tak pernah terjawab, kau tahu, aku tak dapat menyelesaikan puisi-puisi tentangmu dengan kata-kata yang cantik. Pada akhirnya, aku hanya bisa termenung memandang langit hitam dengan sedikit pertanyaan; kemana perginya bulan dan bintang yang sejak tadi setia menemani keheningan malam?

Tiba-tiba, aku tahu apa yang harus kulakukan; meninggalkan tempat kali pertama kita bertemu. Tanpa menulis puisi-puisi tentangmu lagi.

Maafkan aku karena berani mencintaimu

Lelaki yang tak pantas mencintaimu,
Arjuna

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~`

apik toh? sek dulu tapi, aku ngakak pol rek waktu tau siapa nama orang yang ngirim surat ini, ARJUNA. ckck, nama cowok toh? -_______________- lah berarti iki radak homo laan ? -_-

0 comment:

Posting Komentar